Presenteeism, Hadir Tapi Tak Ada Hasil

Staff saya Atiek, dari pagi mengeluh sakit perut, pening-pening dan demam. Saya sudah memintanya pulang ke rumah kalau memang sakit, namun dia bersikukuh tetap di kantor, alasannya banyak tumpukan surat dan pernak-pernik pekerjaan lainnya yang harus diselesaikan. Jadilah hari itu–setengah “mabuk” karena sakit–sedikit demi sedikit dia selesaikan pekerjaannya di balik cubicle-nya yang sempit. Beberapa hari kemudian, ketika penyakitnya semakin terasa parah, dia “menyerah”. Sebuah sms terkirim ke telepon genggam saya, mengabarkan dia harus dirawat di rumah sakit karena typhus.
Kejadian seperti di atas mungkin pernah terjadi di lingkungan kerja anda: karyawan terpaksa atau memaksakan diri masuk kantor, meskipun tidak cukup fit untuk bekerja. Fenomena ini dikenal dengan nama presenteeism dan menjadi masalah yang menjadi perhatian banyak perusahaan di Amerika Serikat.
Norman Clemens, ketua komite hubungan industrial di American Psychiatric Association, mengatakan bahwa presenteeism adalah istilah baru untuk masalah lama— orang bekerja tidak optimal karena sakit fisik atau psikis. Istilah presenteeism merujuk pada kasus di mana orang betul-betul ingin bekerja, namun terpengaruh oleh sakitnya, bukan kasus di mana orang berpura-pura sakit guna menghindari pekerjaan atau membuang-buang waktu untuk hal-hal di luar pekerjaan, seperti bermain internet atau berbelanja.
Presenteeism memang kurang kentara dibandingkan dengan “rekannya” sesama pemakan produktivitas, absenteeism. Kita tahu kalau seseorang tidak masuk kantor, tapi kita seringkali tidak menyadari ada yang bekerja kurang optimal karena sakit (dan seberapa parah dampak penyakitnya terhadap produktivitas). Namun, jangan terkecoh, berbagai riset menunjukkan bahwa presenteeism dapat memakan produktivitas jauh lebih besar daripada absenteeism.


Ketika seseorang sakit, produktivitas kerjanya menurun, baik dari segi jumlah pekerjaan yang diselesaikan (karena bekerja lebih lamban atau harus mengulang-ulang) maupun kualitasnya (karena tingkat kesalahan yang lebih parah). Gejala typhus seperti yang dialami Atiek menganggu konsentrasi dan kekuatan fisiknya. Sangat sedikit surat-surat yang dia selesaikan hari itu. Kesalahan proses pun sempat terjadi. Satu surat referensi karyawan yang harusnya dikirim ke alamat di Jakarta tertukar dengan yang ke Palembang. Migrain dan sakit maag yang kambuhan yang diderita oleh sebagian karyawan menjadi pengganggu konsentrasi yang hadir secara berkala. Depresi yang banyak diderita wanita karir mengakibatkan kelelahan, gampang tersinggung dan menyulitkan kerja tim. Rematik dan sakit pinggang mengurangi kemampuan kerja fisik. Belum lagi bahaya penularan ke pegawai lain bila seseorang yang sakit infeksi seperti flu dan cacar memaksakan diri masuk kantor.
Walter Stewart, Direktur di Geisinger Health System, Pennsylvania, setelah melakukan riset telepon terhadap 29.000 pekerja memperkirakan bahwa di Amerika Serikat presenteeism memakan biaya lebih dari 150 triliun dollar per tahun dalam bentuk kehilangan produktivitas. Dua riset yang dilakukan oleh Journal of the American Medical Association juga menguatkan hal itu, dengan menyatakan bahwa presenteeism menurunkan produktivitas tiga kali lebih besar daripada absenteeism. Di tahun 1999, studi lain yang dilakukan oleh Employers Health Coalition di Tampa, Florida, setelah menelusuri 17 penyakit yang biasa diderita pekerja menyimpulkan bahwa kerugian produktivitas karena presenteeism 7,5 kali lebih besar dari absenteeism. Untuk penyakit-penyakit tertentu seperti alergi, artritis, sakit jantung, darah tinggi, migrain dan sakit leher/punggung, perbandingannya bahkan bisa lebih dari 15:1. Ringkasnya, waktu kerja yang hilang karena pegawai absen jauh lebih kecil dibandingkan waktu yang terbuang karena pegawai hadir namun mengalami berbagai gangguan fisik dan mental akibat sakit.
Kerugian yang diakibatkan oleh presenteeism juga lebih tinggi daripada biaya kesehatan yang dikeluarkan perusahaan dalam bentuk premi asuransi atau pembayaran klaim. Di tahun 2002, para peneliti memperkirakan bahwa kerugian karena presenteeism per-karyawan di Dow Chemical sebesar 6.721 dollar atau sekitar 6.8% dari total biaya pegawainya. Studi lain di Bank One menunjukkan bahwa presenteeism telah menurunkan produktivitas karyawan senilai 311,8 juta dollar, jauh lebih tinggi dari pengeluaran dalam bentuk biaya kesehatan langsung, seperti biaya pelayanan medis dan obat-obatan yang berjumlah 116,2 juta dollar.
Hal di atas menunjukkan kerugian akibat presenteeism harus ikut diperhitungkan dalam kalkulasi biaya kesehatan keseluruhan. Artinya, ketika Anda berupaya untuk menghemat biaya dengan mengurangi manfaat kesehatan karyawan, Anda justru akan membayar jauh lebih mahal dalam bentuk penurunan produktivitas akibat presenteeism maupun absenteeism. Sebaliknya, pengeluaran-pengeluaran untuk meningkatkan taraf kesehatan karyawan mungkin justru merupakan investasi yang sangat menguntungkan dalam meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya pengobatan.
Bagaimana mengurangi presenteeism?
Karena beragamnya jenis dan penyebab presenteeism, tidak ada rumus baku penanganannya. Namun beberapa tindakan mungkin dapat dipertimbangkan sesuai kondisi yang ada.
Langkah pertama adalah mendiagnosa masalahnya untuk mengetahui seberapa parah presenteeism di perusahaan Anda. Anda dapat menambahkan pertanyaan mengenai frekuensi dan alasan karyawan harus hadir ke kantor di saat sakit. Misalnya dengan pertanyaan: “Dalam 12 bulan terakhir, berapa hari Anda terpaksa masuk kantor meskipun sedang sakit? Mengapa?” Anda mungkin akan mendapatkan jawaban antara 2–10 hari kerja dengan tiga alasan utama: tidak mau terlambat dari jadwal pekerjaan, beban pekerjaan sedang tinggi, atau merasa bertanggung jawab/memiliki komitmen ke pihak lain. Jawaban karyawan akan mengarahkan Anda pada bagian-bagian mana dari perusahaan yang paling sering mengalami presenteeism dan alasan spesifik masing-masing.
Langkah berikutnya yang perlu dilakukan adalah menyadarkan para manajer mengenai masalah ini. Kesadaran mengenai presenteeism akan mendorong mereka untuk menciptakan kondisi kerja yang lebih kondusif bagi kesehatan. Presenteeism biasanya merupakan dampak dari stress karena beban kerja yang berlebihan dan gaya hidup yang tidak seimbang. Di tengah kurangnya rasa aman terhadap pekerjaan (job security) dengan maraknya gelombang PHK dan trend penggunaan tenaga outsource akhir-akhir ini, pekerja merasa bahwa bekerja keras (bahkan meskipun sedang sakit) akan menimbulkan citra positif di mata perusahaan. Iklim kerja yang lebih menekankan kerja keras daripada kerja cerdas ini meningkatkan depresi, stress dan kelelahan (burnout) yang membuat karyawan rentan terhadap berbagai penyakit dan mendorong presenteeism.
Beberapa perusahaan seperti British Telecom secara serius menekan presenteeism dengan mengecek daftar hadir karyawan untuk mengetahui siapa-siapa yang memiliki jam kerja panjang dan memperingatkan karyawan yang tidak semestinya bekerja lembur. Pemerintah Inggris juga mendorong para pengusaha untuk mengurangi tingkat stress karyawan dengan mengharuskan mereka mengambil istirahat siang dan mencegah mereka bekerja terlalu lama atau membawa pekerjaan ke rumah.
Kita juga perlu mengetahui masalah-masalah kesehatan apa yang banyak dialami karyawan. Hal ini dapat dilakukan melalui penelusuran riwayat klaim kesehatan para karyawan, survey atau diskusi secara informal untuk mendengar pendapat dari berbagai pihak.
Upaya penyadaran bagi karyawan mengenai berbagai aspek kesehatan, terutama yang paling banyak dihadapi, juga sangat bermanfaat. Berbagai macam wellness program bisa disusun, mencakup penyuluhan-penyuluhan/seminar kesehatan, konsultasi dan screening kesehatan di tempat kerja, kampanye gaya hidup sehat yang terarah melalui poster-poster dan newsletter, penghargaan untuk mereka yang sudah menjalani pola hidup dan pola kerja sehat, dan bahkan penanganan khusus bagi para karyawan yang memiliki risiko tinggi penyakit kronis seperti jantung, migrain dan darah tinggi dengan bantuan para spesialis di bidangnya.
Pada akhirnya, perlu dipahami bahwa peningkatan taraf kesehatan di tempat kerja tidak cukup dilakukan hanya sesekali dan tanpa arah tujuan yang jelas. Sebagaimana program manajemen perubahan (change management) di manapun, mengubah pola fikir dan pola tindakan membutuhkan visi, program, kesungguhan, kesinambungan dan kerja sama banyak pihak. Bahkan, hanya untuk mengurangi kebiasaan merokok para karyawan pun, misalnya, butuh upaya yang besar. Kebiasaan lama biasanya sangat sulit dihentikan (old habits die hard).
Komitmen manajemen atas juga sangat diperlukan untuk suksesnya program, baik dari segi keuangan maupun dukungan lainnya. Mentalitas manajemen yang melihat biaya kesehatan sebagai suatu benefit yang diberikan kepada karyawan harus diubah dengan mentalitas yang menganggap bahwa biaya kesehatan adalah investasi pada karyawan yang menguntungkan perusahaan. Demikian juga dengan mentalitas yang menekankan kerja keras dan jam-jam kerja panjang, bukan kerja cerdas dan gaya hidup seimbang.

(Artikel ini pernah dimuat di majalah "Human Capital")

by : elfiria

0 comments:

Post a Comment